Mahasiswa

Thursday, 15 February 2018

Human Development Index (HDI) Indonesia di Bawah Thailand, Brunei, Malaysia dan Singapura, Mengapa?



Indikator yang seringkali digunakan untuk menggambarkan kemakmuran suatu negara adalah pendapatan per kapita. Maka apabila ditanya negara mana yang paling makmur? Jawabannya adalah Amerika Serikat. Dilansir dari Bank Dunia (2016), GDP Amerika Serikat mencapai 18,57 Triliun USD. Namun, faktanya Amerika Serikat menempati posisi ke 16 dalam Human Development Index di seluruh dunia (UNDP, 2015). HDI sendiri merupakan salah satu index yang berguna untuk memusatkan perhatian pada aspek kualitas dari pembangunan dan berguna bagi negara-negara dengan skor HDI yang relatif rendah untuk melihat kembali variabel-variabel nutrisi, kesehatan, dan pendidikan. Itu artinya, meski pendapatan per kapita tinggi, belum tentu rakyatnya bahagia. Sehingga, menggunakan pendapatan per kapita sebagai indikator kemakmuran sebuah negara, dirasa kurang sesuai.
Indonesia menempati posisi ke-113 dari 188 negara di dunia, dan posisi ke 5 di antara negara ASEAN dengan perolehan poin 0,689. Urutan pertama di ASEAN ditempati oleh Singapura di posisi 5, selanjutnya Brunei Darussalam di posisi 30, Malaysia di posisi 59, dan Thailand di posisi 87. Pertanyaannya, mengapa posisi Indonesia di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand? Sejujurnya yang paling membuat heran adalah Thailand. Beberapa tahun silam, Thailand adalah negara berkembang, yang posisinya masih berada di bawah Indonesia. Akan tetapi, sekarang Thailand melejit dan melangkahi posisi Indonesia sangat jauh. Bahkan kini Thailand termasuk dalam kategori High Human Development. Sedangkan Indonesia masih bertahan dalam balutan kategori Medium Human Development. Padahal, Indonesia kaya alamnya dan banyak manusianya. Apa yang salah dari Indonesia?
Setelah ditelusuri, titik lemah kualitas pembangunan manusia Indonesia ternyata terletak pada sektor pendidikan. Capaian kita dalam sektor ini boleh dibilang masih sangat rendah. Ini tentu soal yang amat serius, karena kunci kemajuan suatu bangsa ada pada sektor pendidikan yang tangguh. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari UNDP (2015), masa sekolah yang diharapkan Indonesia adalah 12,9 tahun atau sampai SMA. Berbeda dengan empat negara yang posisinya berada di atas kita, bahkan Singapura, sudah mentargetkan 15,4 tahun, yang artinya minimal menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jika dari target saja sudah rendah, bagaimana keadaan realitanya? Ternyata, rata-rata masa sekolah di Indonesia hanya 7,9 tahun. Itu artinya, banyak yang tak sampai lulus SMP sudah berhenti sekolah. Mengapa? Padahal pemerintah sudah mengupayakan untuk meningkatkan rata-rata lamanya sekolah dan menekan angka drop out di sekolah. Pemerintah juga telah mennggencarkan program Kartu Indonesia Pintar, Bidikmisi, dan program lainnya untuk memfasilitasi anak Indonesia yang mengalami kesulitan finansial dalam bersekolah.
Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata penyebabnya adalah ketidaktepatan sasaran. Pemerintah telah mengadakan program Kartu Indonesia Pintar, Bidikmisi, dan sebagainya agar seluruh anak Indonesia dapat mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Akan tetapi, banyak sasaran yang tidak tepat untuk diberikan program-program tersebut. Sejujurnya ini terjadi di kampung halaman saya. Saya berasal dari sebuah dusun di bawah kaki gunung Penanggungan. Di dusun saya, setiap anak mendapatkan Kartu Indonesia Pintar. Padahal, sudah sangat banyak warga yang hidupnya sebenarnya sudah makmur dan bisa membiayai sendiri pendidikan anak-anaknya. Lagi-lagi ini karena paradigma bahwa desa di bawah kaki gunung adalah desa tertinggal. Jikalau tertinggal di sini artinya tidak ada sinyal, memang benar. Tapi jika tertinggal di sini artinya warganya miskin, itu tidak benar. Di kampung saya, meski rumahnya tidak terlalu bagus dan yang memiliki kendaraan mobil bisa dihitung jari, tetapi semuanya memiliki sawah, banyak yang memiliki tanah, sapi, dan sebagainya. Sehingga paradigma tersebut harus diubah.
Selain itu, banyak orang Indonesia yang memiliki pemkiran bahwa setelah lulus, anak perempuan harus dinikahkan, seolah orang tua enggan mendengar predikat “Perawan Tua” pada anak perempuannya. Apalagi di desa-desa tertinggal, termasuk dusun saya. Faktanya di dusun saya, anak yang mengenyam pendidikan sampai tingkat universitas bisa dihitung jari, dan kebanyakan adalah anak-anak dari seorang guru, ustadz, dan pengusaha beras. Dan hanya 2 orang termasuk saya, yang berasal dari keluarga yang bukan apa-apa. Belum lagi, saat ini sedang marak kasus penganiayaan terhadap guru oleh siswanya sendiri. Bahkan ada guru yang sampai meninggal akibat dianiaya. Mengapa kasus rendah seperti ini bisa sampai terjadi di negeri ini? Bukankah Indonesia ‘katanya’ adalah negara yang warganya ramah dan sopan? Dari mana siswa terinsipirasi untuk menganiaya guru?
Itulah mirisnya negeri ini, tontonan sudah menjadi tuntunan. Banyak anak Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya sehingga yang dijadikan panutan bukan lagi orang tuanya, tetapi apa yang ditontonnya. Jika guru yang memberikan ilmu dan pengetahuan saja tidak dihargai oleh muridnya sendiri, bagaimana pendidikan dapat dimaksimalkan? Semua ilmu yang masuk hanya akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tidak ada yang berkah, dan generasi penerus bangsa akan menjadi generasi yang dungu dan tidak memiliki moral.
Di antara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei, mari kita ambil Malaysia sebagai perbandingan dengan Indonesia. Jika melihat komponen-komponen penyusun HDI Malaysia, Indonesia memang harus angkat topi. Dari sisi angka harapan hidup, Indonesia memang cukup tinggi, yakni sebesar 69,1 tahun, tapi Malaysia lebih tinggi lagi, 74,9 tahun. Begitupula dengan rata-rata lama sekolah, kita juga kalah. Bahkan, meskipun saat ini Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di dunia sehingga menjadikan kita tergabung dalam G-20 (group of twenty), yakni 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, PDB per kapita kita kenyataannya masih kalah jauh dibanding Malaysia. Saat ini PDB per kapita Malaysia sudah menembus angka USD 25.308, hampir tiga kali lipat dari PDB per kapita Indonesia yang hanya USD 10.385. Dan saya kira, ini merupakan faktor utama HDI kita kalah jauh dari Malaysia.
Namun demikian, jumlah populasi yang sangat ‘jomplang’ penting untuk diperhatikan saat membandingkan kualitas pembangunan manusia Malaysia dan Indonesia.  Malaysia memang unggul dalam hal komponen-komponen pembentuk HDI, tetapi ingat, populasi Malaysia saat ini hanya mencapai 28,9 juta jiwa, begitu pula Brunei, Thailand, dan Singapura, hanya ‘seuprit’ dari populasi Indonesia yang telah mencapai 241 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, perkembangan skor HDI Indonesia sebenarnya cukup menggembirakan. Dalam satu dekade terkahir, skor HDI kita terus naik, meskipun kenaikannnya sedikit lambat. Pada tahun 2015 skor HDI Indonesia sebesar 0,689 sedangkan pada tahun 2010 sebesar 0,662. Jika Indonesia mampu mempertahankan rata-rata pertumbuhan IPM sebesar 1,07% per tahun maka sebelum tahun 2019, Indonesia sudah mampu berada dalam kategori High Human Development. Indonesia pasti bisa.*)

*) Artikel ini adalah tugas kuliah mata kuliah Perekonomian Indonesia

Referensi :

Simpang Siur Penerapan Bitcoin di Indonesia

Beberapa waktu yang lalu, warganet sempat dihebohkan dengan berita mengenai anak berusia 12 tahun bernama Erik yang putus sekolah, namun sukses menjadi milyarder setelah bermain Bitcoin. Dilansir dari Liputan6.com, Jumlah Bitcoin yang Erik miliki kini mencapai 403 buah dengan valuasi mencapai US$ 1,09 juta atau setara Rp 14,5 miliar. Bahkan di beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Kanada, dan beberapa negara lainnya telah menetapkan Bitcoin sebagai mata uang legal. Bitcoin  sendiri adalah mata uang virtual yang dikembangkan pada tahun 2009 oleh seseorang dengan nama samaran Satoshi Nakamoto. Mata uang ini seperti halnya Rupiah atau Dollar, namun hanya tersedia di dunia digital.
Transfer instan secara Peer to Peer, transfer ke mana saja, biaya transfer yang sangat kecil, dan tidak dikenakan pajak, menjadikan Bitcoin memiliki poin lebih dibandingkan dengan uang konvensional.  Belum lagi harga 1 Bitcoin yang saat ini (Februari 2018) mencapai Rp113.800.000 dapat membuat siapapun tergiur untuk mencobanya. Akan tetapi, muncul pertanyaan yang menggelitik, bagaimana bisa, hanya dalam rentang waktu yang tidak lama, harga 1 Bitcoin bisa meningkat setajam itu? Bagaimana apabila Bitcoin dilegalkan di Indonesia?
Di tahun 2014, Bank Indonesia telah menyatakan bahwa Bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No. 23 Tahun 1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009. Namun, melihat perkembangan yang semakin pesat dari uang virtual ini, BI mengadakan kajian lagi secara mendalam terkait Bitcoin, apakah akan diatur dalam PBI uang elektronik ataukah terpisah, misalnya nanti masuk dalam PBI cryptocurrency. Yang jelas, BI mengimbau agar merchant tidak menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi di Indonesia. Jika masyarakat mengalami kerugian terkait Bitcoin, regulator BI tidak akan bertanggung jawab terkait hal ini. BI mengkawatirkan dan masih mencermati terkait risiko penggunaan Bitcoin oleh masyarakat. Hal ini karena BI mengendus potensi penyelewengan Bitcoin digunakan untuk tindakan melawan hukum, seperti terorisme, pencucian uang, prostitusi, dan perdagangan obat terlarang.
Tidak hanya BI, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappeti) juga tengah melakukan kajian mengenai Bitcoin ini, dan diperkirakan akan rampung pada pertengahan tahun 2018. Kajian Bitcoin difokuskan sebagai instrumen investasi setelah BI melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran dan transaksi di Indonesia (UU No.7 tahun 2011). Penggunaan Bitcoin sebagai instrumen investasi diperbolehkan di Indonesia dengan catatan pemerintah telah mengingatkan risiko investasi Bitcoin. Sampai saat ini pun, belum ada otoritas yang menaungi Bitcoin. Mata uang virtual ini juga tidak memiliki administrator resmi, underlying asset yang mendasari harganya, serta nilai perdagangan yang sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap sejumlah risiko.
Dari perspektif Ekonomi Islam, Bitcoin yang memeiliki banyak ketidakjelasan ini masuk ke dalam perkara yang memiliki unsur gharar di dalamnya. Agar tidak terjadi gharar, maka baik harga ataupun barang, baik Bitcoin yang menjadi harga beli ataupun Bitcoin yang dijual itu memiliki nilai yang jelas dan merefresentasikan aset sebagai alat tukar. Tetapi Bitcoin yang tidak diakui sebagai alat tukar tidak merefresentasikan, sehingga tidak jelas dan tidak diakui oleh masyarakat.  Selain itu, penggunaan Bitcoin akan menimbulkan kesenjangan yang tinggi di masyarakat. Masyarakat miskin yang kurang paham teknologi, akan semakin miskin, dan yang kaya akan semakin kaya. Tidak menutup kemungkinan pula, terdapat propaganda terselubung dalam Bitcoin ini.
Pun dari sisi akuntansi, penggunaan uang virtual, akan berimbas pada berkurangnya profesi Akuntan yang dibutuhkan di era digital. Dan secara tidak langsung, uang virtual akan mengurangi minat masyarakat untuk menggunakan jasa bank. Saat ini memang Bitcoin masih dalam tahap pengkajian ulang dan pernah dilarang di Indonesia, tetapi tidak menutup kemungkinan di masa mendatang Bitcoin akan dilegalkan penggunaannya di Indonesia. Apabila permasalahannya terletak pada hukum agama, maka bisa saja Bitcoin di masa mendatang akan memiliki inovasi baru dengan nama Bitcoin Syari’ah. Jika masalahnya terletak pada masalah regulasi, bisa saja BI dan otoritas keuangan lainnya akan segera membuat regulasi terbaru untuk melegalkan Bitcoin di Indonesia. Jadi, apakah Bitcoin masih pantas jika dilegalkan di Indonesia?*)


*) Artikel ini dimuat di website LSME FEB UB



Referensi :
bitcoin.co.id/
Notulensi hasi diskusi Departemen PnP LSME FEB UB