Indikator yang seringkali digunakan untuk menggambarkan kemakmuran suatu
negara adalah pendapatan per kapita. Maka apabila ditanya negara mana yang
paling makmur? Jawabannya adalah Amerika Serikat. Dilansir dari Bank Dunia
(2016), GDP Amerika Serikat mencapai 18,57 Triliun USD. Namun, faktanya Amerika
Serikat menempati posisi ke 16 dalam Human
Development Index di seluruh dunia (UNDP, 2015). HDI sendiri merupakan
salah satu index yang berguna untuk memusatkan perhatian pada aspek kualitas
dari pembangunan dan berguna bagi negara-negara dengan skor HDI yang relatif
rendah untuk melihat kembali variabel-variabel nutrisi, kesehatan, dan
pendidikan. Itu artinya, meski pendapatan per kapita tinggi, belum tentu
rakyatnya bahagia. Sehingga, menggunakan pendapatan per kapita sebagai
indikator kemakmuran sebuah negara, dirasa kurang sesuai.
Indonesia menempati posisi ke-113 dari 188 negara di dunia, dan posisi
ke 5 di antara negara ASEAN dengan perolehan poin 0,689. Urutan pertama di
ASEAN ditempati oleh Singapura di posisi 5, selanjutnya Brunei Darussalam di
posisi 30, Malaysia di posisi 59, dan Thailand di posisi 87. Pertanyaannya,
mengapa posisi Indonesia di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand?
Sejujurnya yang paling membuat heran adalah Thailand. Beberapa tahun silam,
Thailand adalah negara berkembang, yang posisinya masih berada di bawah
Indonesia. Akan tetapi, sekarang Thailand melejit dan melangkahi posisi
Indonesia sangat jauh. Bahkan kini Thailand termasuk dalam kategori High Human Development. Sedangkan
Indonesia masih bertahan dalam balutan kategori Medium Human Development. Padahal, Indonesia kaya alamnya dan
banyak manusianya. Apa yang salah dari Indonesia?
Setelah ditelusuri, titik lemah kualitas pembangunan manusia Indonesia ternyata
terletak pada sektor pendidikan. Capaian kita dalam sektor ini boleh dibilang
masih sangat rendah. Ini tentu soal yang amat serius, karena kunci kemajuan
suatu bangsa ada pada sektor pendidikan yang tangguh. Berdasarkan dari data yang
diperoleh dari UNDP (2015), masa sekolah yang diharapkan Indonesia adalah 12,9
tahun atau sampai SMA. Berbeda dengan empat negara yang posisinya berada di atas
kita, bahkan Singapura, sudah mentargetkan 15,4 tahun, yang artinya minimal
menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jika dari target saja
sudah rendah, bagaimana keadaan realitanya? Ternyata, rata-rata masa sekolah di
Indonesia hanya 7,9 tahun. Itu artinya, banyak yang tak sampai lulus SMP sudah
berhenti sekolah. Mengapa? Padahal pemerintah sudah mengupayakan untuk
meningkatkan rata-rata lamanya sekolah dan menekan angka drop out di
sekolah. Pemerintah juga telah mennggencarkan program Kartu Indonesia Pintar,
Bidikmisi, dan program lainnya untuk memfasilitasi anak Indonesia yang
mengalami kesulitan finansial dalam bersekolah.
Setelah ditelusuri lebih dalam,
ternyata penyebabnya adalah ketidaktepatan sasaran. Pemerintah telah mengadakan
program Kartu Indonesia Pintar, Bidikmisi, dan sebagainya agar seluruh anak
Indonesia dapat mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Akan tetapi, banyak
sasaran yang tidak tepat untuk diberikan program-program tersebut. Sejujurnya ini
terjadi di kampung halaman saya. Saya berasal dari sebuah dusun di bawah kaki
gunung Penanggungan. Di dusun saya, setiap anak mendapatkan Kartu Indonesia
Pintar. Padahal, sudah sangat banyak warga yang hidupnya sebenarnya sudah
makmur dan bisa membiayai sendiri pendidikan anak-anaknya. Lagi-lagi ini karena
paradigma bahwa desa di bawah kaki gunung adalah desa tertinggal. Jikalau
tertinggal di sini artinya tidak ada sinyal, memang benar. Tapi jika tertinggal
di sini artinya warganya miskin, itu tidak benar. Di kampung saya, meski
rumahnya tidak terlalu bagus dan yang memiliki kendaraan mobil bisa dihitung
jari, tetapi semuanya memiliki sawah, banyak yang memiliki tanah, sapi, dan
sebagainya. Sehingga paradigma tersebut harus diubah.
Selain itu, banyak orang Indonesia yang memiliki pemkiran bahwa setelah
lulus, anak perempuan harus dinikahkan, seolah orang tua enggan mendengar
predikat “Perawan Tua” pada anak perempuannya. Apalagi di desa-desa tertinggal,
termasuk dusun saya. Faktanya di dusun saya, anak yang mengenyam pendidikan
sampai tingkat universitas bisa dihitung jari, dan kebanyakan adalah anak-anak
dari seorang guru, ustadz, dan pengusaha beras. Dan hanya 2 orang termasuk
saya, yang berasal dari keluarga yang bukan apa-apa. Belum lagi, saat ini
sedang marak kasus penganiayaan terhadap guru oleh siswanya sendiri. Bahkan ada
guru yang sampai meninggal akibat dianiaya. Mengapa kasus rendah seperti ini
bisa sampai terjadi di negeri ini? Bukankah Indonesia ‘katanya’ adalah negara yang warganya ramah dan sopan? Dari mana
siswa terinsipirasi untuk menganiaya guru?
Itulah mirisnya negeri ini, tontonan sudah menjadi tuntunan. Banyak anak
Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya sehingga yang
dijadikan panutan bukan lagi orang tuanya, tetapi apa yang ditontonnya. Jika guru
yang memberikan ilmu dan pengetahuan saja tidak dihargai oleh muridnya sendiri,
bagaimana pendidikan dapat dimaksimalkan? Semua ilmu yang masuk hanya akan
masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tidak ada yang berkah, dan
generasi penerus bangsa akan menjadi generasi yang dungu dan tidak memiliki
moral.
Di antara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei, mari kita ambil
Malaysia sebagai perbandingan dengan Indonesia. Jika melihat komponen-komponen
penyusun HDI Malaysia, Indonesia memang harus angkat topi. Dari sisi angka harapan
hidup, Indonesia memang cukup tinggi, yakni sebesar 69,1 tahun, tapi Malaysia lebih tinggi lagi, 74,9 tahun. Begitupula dengan
rata-rata lama sekolah, kita juga kalah. Bahkan, meskipun saat ini Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di dunia sehingga
menjadikan kita tergabung dalam G-20 (group of twenty), yakni 20
negara dengan perekonomian terbesar di dunia, PDB per kapita kita kenyataannya
masih kalah jauh dibanding Malaysia. Saat ini PDB per kapita Malaysia sudah menembus angka USD 25.308, hampir tiga kali
lipat dari PDB per kapita Indonesia yang hanya USD 10.385. Dan saya kira, ini merupakan
faktor utama HDI kita kalah jauh dari Malaysia.
Namun demikian,
jumlah populasi yang sangat ‘jomplang’ penting untuk diperhatikan saat
membandingkan kualitas pembangunan manusia Malaysia dan Indonesia. Malaysia memang unggul dalam hal komponen-komponen pembentuk HDI,
tetapi ingat, populasi Malaysia saat ini hanya mencapai 28,9 juta jiwa, begitu pula
Brunei, Thailand, dan Singapura, hanya ‘seuprit’ dari populasi Indonesia yang telah mencapai 241 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
perkembangan skor HDI Indonesia sebenarnya cukup menggembirakan. Dalam satu dekade
terkahir, skor HDI kita terus naik, meskipun kenaikannnya sedikit lambat. Pada
tahun 2015 skor HDI Indonesia sebesar 0,689 sedangkan pada tahun 2010 sebesar 0,662.
Jika
Indonesia mampu mempertahankan rata-rata pertumbuhan IPM sebesar 1,07% per
tahun maka sebelum tahun 2019, Indonesia sudah mampu berada dalam kategori High
Human Development. Indonesia pasti
bisa.*)
*) Artikel
ini adalah tugas kuliah mata kuliah Perekonomian Indonesia
Referensi
: